Friday, November 13, 2009

IMPLEMENTASI EKONOMI ISLAM UNTUK KEMAKMURAN YANG BERKEADILAN

Pada tanggal 1- 3 Agutus 2008 ini diadakan sebuah perhelatan akbar para ahli ekonomi Islam Indonesia dan dunia di Surabaya. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan Program Doktor Ekonomi Islam Universitas Airlangga Surabaya. Kegiatan Seminar dan symposium ini merupakan agenda tahunan Ikatan Ahli Ekonomi Islam yang bertujuan untuk membahas dan membicarakan perkembangan ekonomi ekonomi Islam kontemporer di panggung international dan national, peluang, tantangan, dan kendala pengembangan ekonomi Islam baik dalam skala nasional maupun internasional dalam rangka penyusunan implementasi strategi ke depan.
Selain tujuan tersebut, kegiatan simposium ini juga bertujuan untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam secara positif dan empiris dalam rangka implementasi kontemporer dan memberikan solusi ekonomi bagi tata ekonomi dunia demi terbangunnya tatanan ekonomi dunia yang adil dan sejahtera.

Menurut catatan historis, dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, ekonomi dunia tidak pernah sepi dari badai krisis. Roy Davies dan Glyn Davies dalam buku “A History of Money from Ancient Time to the Present Day” (1996),menulis dan menyimpulkan,“Sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis. Kesemuanya merupakan krisis sektor keuangan.
Kesenjangan ekonomi juga semakin tajam, kemiskinan dan pengangguran yang semakin menggurita. Pendeknya, kemakmuran dan kesejahteraan berlangsung secara tidak adil.
Di bawah dominasi kapitalisme, kerusakan ekonomi terjadi di mana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perekonomian dunia tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama sekali tidak menentu. Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat pengangguran yang parah, serta fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat. Tidak terhitung banyaknya para pakar ekonomi Barat yang mengkritik sistem ekonomi kapitalisme dan mendesak dilakukannya perubahan paradigma ke arah paradigma yang adil dan manusiawi.
Sebenarnya, sejak awal tahun 1940-an, para ahli ekonomi Barat, telah menyadari indikasi kegagalan tersebut. Adalah Joseph Schumpeter dengan bukunya Capitalism, Socialism and Democracy menyebutkan bahwa teori ekonomi modern telah memasuki masa-masa krisis. Pandangan yang sama dikemukakan juga oleh ekonom generasi 1950-an dan 60-an, seperti Daniel Bell dan Irving Kristol dalam buku The Cricis in Economic Theory. Demikian pula Gunnar Myrdal dalam buku Institusional Economics, Journal of Economic Issues, juga Hla Mynt, dalam buku Economic Theory and the Underdeveloped Countries serta Mahbubul Haq dalam buku The Poverty Curtain : Choices for the Third World
Dalam konteks ini, Thomas Ulen dalam buku Review of Nelson and Winkers, An Evolutionary Theory of Economic Change in Business History Review, mengatakan, “Banyak pidato tingkat tinggi terkini di lingkungan Assosiasi Ekonomi Amerika yang sangat kritis terhadap teori ekonomi makro dan mikro yang sudah mapan. Meskipun demikian, sampai sekarang belum ada paradigma baru”. Dari teks ini terlihat bahwa Thomas Ulen ingin berubah dan menemukan paradigma baru dalam ekonomi.
Kritikan kepada kapitalisme tersebut semakin keras pada era 1990-an di mana berbagai ahli ekonomi Barat generasi dekade ini dan para ahli ekonomi Islam pada generasi yang sama menyatakan secara tegas bahwa teori ekonomi telah mati, di antaranya yang paling menonjol adalah Paul Ormerod. Dia menulis buku (1994) berjudul The Death of Economics (Matinya Ilmu Ekonomi). Dalam buku ini ia menyatakan bahwa dunia saat ini dilanda suatu kecemasan yang maha dahsyat dengan kurang dapat beroperasinya sistem ekonomi yang memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap gejolak ekonomi maupun moneter. Indikasi yang dapat disebutkan di sini adalah pada akhir abad 19 dunia mengalami krisis dengan jumlah tingkat pengangguran yang tidak hanya terjadi di belahan diunia negara-negara berkembang akan tetapi juga melanda negara-negara maju.
Sejalan dengan Omerod belakangan ini muncul lagi ilmuwan ekonomi terkemuka bernama Joseph E.Stigliz, pemegang hadiah Nobel ekonomi pada tahun 2001. Stigliz adalah Chairman Tim Penasehat Ekonomi President Bill Clinton, Chief Ekonomi Bank Dunia dan Guru Besar Universitas Columbia. Dalam bukunya “Globalization and Descontents, ia mengupas dampak globalisasi dan peranan IMF (agen utama kapitalisme) dalam mengatasi krisis ekonomi global maupun lokal. Ia menyatakan, globalisasi tidak banyak membantu negara miskin. Akibat globalisasi ternyata pendapatan masyarakat juga tidak meningkat di berbagai belahan dunia. Penerapan pasar terbuka, pasar bebas, privatisasi sebagaimana formula IMF selama ini menimbulkan ketidakstabilan ekonomi negara sedang berkembang, bukan sebaliknya seperti yang selama ini didengungkan barat bahwa globalisasi itu mendatangkan manfaat. Stigliz mengungkapkan bahwa IMF gagal dalam missinya menciptakan stabilitas ekonomi yang stabil.
Dalam bukunya yang lain Toward a New Paradigm in Monetary Economics. mengkritik keras ekonomi konvensional dan mendesak lahirnya paradigma baru dalam ekonomi moneter. Sisi menarik yang ditemukan dari tulisan Stiglitz, adalah paradigma baru, yang mirip konsep ekonomi Islam. Stiglitz mengkritik teori ekonomi moneter konvensional dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak, merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, antara lain tentang peranan uang, terpisahkan sektor finansial dengan sektor riil, suka bunga kredit, dsb. Meskipun ia tidak menyebut istilah ekonomi Islam, tetapi pemikirannya itu benar-benar sama dengan konsep ekonomi Islam. Mungkin saja ia membaca literatiur-litaratur ekonomi islam yang demiian mudah didapat, lalu diadopsi olehnya sebagai pemikirannya.
Berdasarkan kegagalan tersebut, maka perhatian ekonom dunia mulai melirik sistem ”baru”, yaitu ekonomi Islam. Maka mulai tahun 1970an, ekonomi Islam mulai bangkit dan dikaji secara ilmiah dan empiris. Setiap tahun forum-forum ilmiah internasional digelar sejak tahun 1976 yang dimulai dari Mekkah, seterusnya setiap tahun para pakar ekonomi islam dunia mengadakan pertemuan untuk mengembangkan studi ekonomi Islam di dunia.
Dalam tiga dasawarsa belakangan ini perkembangan ekonomi Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk kajian akademis di perguruan tinggi maupun secara praktik operasional. Dalam bentuk kajian, ekonomi Islam telah dikembangkan di berbagai universitas, baik di negeri-negeri Muslim maupun di negara-negara Barat, seperti di Eropa, Amerika Serikat dan Australia. Di Inggris terdapat beberapa universitas yang telah mengembangkan kajian ekonomi Islam(Islamic economics), seperti University of Durham, University of Portsmouth, Markfield Institute of Higher Education, University of Wales Lampeter, dan Loughborough University. Di Amerika Serikat, pengembangan kajian ekonomi Islam dilakukan di Harvard University. Di Australia, University of Wolonggong juga melakukan hal yang sama.
Sementara itu dalam bentuk praktik, ekonomi Islam telah berkembang dalam bentuk lembaga perbankan dan lembaga–lembaga keuangan Islam non bank lainnya. Tercatat, sampai saat ini lembaga perbankan dan keuangan Islam telah merambah ke 75 negara dengan jumlah lembaga keuangan mencapai lebih dari 400 lembaga keuangan. Di Barat tercatat beberapa negara yang telah mengembangkan perbankan syariah, seperti di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Luxemburg, Swiss, Denmark, Perancis, Rusia, Kepulauan Bahama, Cayman Island, dan Virgin Island.
Di Indonesia, perkembangan kajian dan praktek ekonomi Islam juga mengalami kemajuan yang pesat. Kajian-kajian ekonomi Islam telah banyak diselenggarakan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia mulai mendapatkan momentum yang sangat berarti semenjak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Pada saat itu keberadaan sistem perbankan Islam memperoleh dasar hukum secara formal dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Akan tetapi sesungguhnya geliat aksi maupun pemikiran ekonomi berdasarkan Islam di Indonesia, memiliki sejarah yang amat panjang. Sejarah mencatat, jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1911 telah lahir organisasi Syarikat Dagang Islam yang dibidani oleh para entrepreneur dan para tokoh atau intelektual Muslim saat itu.
Dapatlah dikatakan perkembangan ekonomi Islam yang sangat marak dewasa ini merupakan cerminan dan kerinduan ummat Islam Indonesia untuk berdagang, berinvestasi dan beraktivitas bisnis secara Islami, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Komitmen dan dukungan Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan Islam di sisi lain merupakan jawaban atas gairah dan kerinduan ummat dan telah menjadi lokomotif bergeraknya pemikiran dan praktek ekonomi Islam di Indonesia secara signifikan.
Ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia yang berdampak terhadap goncangnya lembaga perbankan yang berakhir pada likuidasi sejumlah bank dan sebagian lagi di take over dengan bantuan BLBI, bank Islam malah terjadi sebaliknya semakin berkembang. Sejak tahun 1998, sistem perbankan Islam sebagai lokomotif gerakan ekonomi Islam di Indonesia, mencapai kemajuan dan pertumbuhan yang sangat pesat.
Tantangan Ekonomi Islam
Namun demikian, sesuai dengan perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat terhadap ekonomi dan perbankan Islam, ekonomi Islam menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan-tantangan yang besar. Dalam usia yang masih muda tersebut, setidaknya ada lima problem dan tantangan yang dihadapi ekonomi Islam saat ini, pertama, masih minimnya pakar ekonomi Islam berkualitas yang menguasai ilmu-ilmu ekonomi modern dan ilmu-ilmu syariah secara integratif. . Kedua, ujian atas kredibilitas sistem ekonomi dan keuangannya, ketiga, perangkat peraturan, hukum dan kebijakan, baik dalam skala nasional maupun internasional masih belum memadai . Keempat, masih terbatasnya perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam dan masih minimnya lembaga tranining dan consulting dalam bidang ini, sehingga SDI di bidang ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas dan belum memiliki pengetahuan ekonomi syariah yang memadai. Kelima , peran pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, masih belum optimal terhadap pengembangan ekonomi syariah, karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan mereka tentang ilmu ekonomi Islam
Untuk memberikan jawaban atas masalah-masalah tersebut, digelar Seminar International ekonomi Islam yang dirangkaikan dengan simposium internasional ekonomi Islam dalam bentuk call for paper bagi para ahli dan peneliti ekonomi Islam. Pada kegaiatan akbar ini, akan berbicara 48 orang pakar ekonomi Islam dari dalam dan luar negeri dengan berbagai topik. Topik-topik makalah diarahkan pada tataran implementasi strategis sehingga tidak hanya berkutat dalam wacana dan teori di atas kertas.
Dulu, kita memang banyak berteori dan berwacana di saat perbankan dan keuangan syariah belum lahir dan berkembang, tetapi alhamdulilah, hasil teori dan wacana tersebut telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Faktanya, ialah saat ini di Indoenesia telah berkembang pesat lembaga perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, koperasi syariah BMT, pegadaian syariah dan leasing syariah. Hampir tidak ada perbankan konvensional yang tidak membuka unit syariah.
Namun, gerakan ekonomi syariah ini tidak akan berdampak signifikan untuk kemakmuran dan kesejaheraan rakyat, tanpa dukungan dari semua lapisan masyaraka, pemerintah, ulama, akademisi dan pengusaha. Semoga acara ini membuka mata para ekonom, pemerintah dan ulama untuk mengimplemntasikan ekonomi Islam yang rahtamtan lilalamin dan kesejahteraan umat manusia secara universal.

No comments:

Post a Comment

Alifia Ikutan Nari katanya